Divine Kretek. Dr Greta Zahar
Gretha Zahar : Ilmuwan dan Tabib yang Mengobati Dengan Media Rokok
Dokter Singapura pun Sempat Menyerah
Kanker adalah penyakit yang mematikan. Biaya mahal dan pengobatan
yang menyakitkan, seringkali membuat orang kehilangan harapan. Dokter
Greta Zahar dkk mencoba mengembangkan metode pengobatan alternatif yang
unik.
KELUARGA Agustinus Imam Istiyanto (61)
kini agak berlega hati. Mereka gembira melihat perkembangan kesehatan
Imam yang menunjukkan tanda-tanda membaik.
Dosen Teknik Industri ITB itu mengikuti terapi balur dan divine
kretek di Rumah Balur yang dikelola Dr Greta Zahar (72) di Jl Otista,
Jakarta Timur, mulai 11 Agustus lalu.
Pada Oktober 2010, Imam Istiyanto diketahui menderita kanker jenis
Merkel Cell Carcinoma yang dikenal ganas. Upaya pengobatan kemoterapi
dilakukannya hingga ke Singapura. Namun dokter di negeri jiran itu
menyerah. Keluarga Imam tak mau berhenti mencoba. Pengobatan pun
dilanjutkan ke China. Ternyata di Negeri Tirai Bambu itu, juga tidak
muncul harapan.
”Pulang dari China akhir Juli lalu, kondisinya menyedihkan. Kakak
saya nggak bisa menelan makanan karena mulutnya penuh sariawan. Dia
harus diinfus. Levernya bengkak karena bekerja keras menetralisasi
kemoterapi. Tubuhnya sangat lemah. Dia sudah benar-benar pasrah,” kata
Christiana Retnaningsih, adiknya, yang dosen Unika Soegijapranata itu.
Pada 22 Juli 2011, Retnaningsih mengikuti bincang-bincang Redaksi
Suara Merdeka dengan Prof Dr Sutiman B Sumitro, ahli biologi molekuler
dari Universitas Brawijaya Malang tentang terapi asap kretek (dinamai
divine kretek) dan balur untuk penyembuhan kanker.
Terapi ini ditemukan dan dikembangkan oleh Dr Greta Zahar, ahli
fisika nuklir lulusan Jerman. Dalam forum itu, Prof Sutiman memberikan
latar belakang sainsnya dari terapi balur dan asap divine kretek
tersebut.
Banyak orang yang telah terselamatkan dengan metoda tersebut.
Termasuk istri Prof Sutiman, Tintrim Rahayu, yang terkena kanker
payudara stadium tinggi dan dua kali operasi.
Orang penting lain yang tersembuhkan adalah dr Subagyo, ketua Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) Malang. Istri Subagyo, yaitu dokter Saraswati,
kini satu tim dengan Prof Sutiman dan Dr Greta mengembangkan terapi
balur dan divine kretek untuk mengatasi kanker dan berbagai penyakit
lainnya.
Retnaningsih merasa beruntung bisa ikut forum di Suara Merdeka. Dari
acara itu, dia pun mendapat undangan untuk ikut seminar hari berikutnya,
di mana Prof Sutiman dan dr Saraswati tampil di forum yang diikuti
banyak dokter dan ahli.
”Saya beruntung sekali karena di forum itu saya bisa berdekatan
dengan Ibu Tintrim Rahayu sehingga bisa menggali cerita penderitaannya
dan kesembuhannya,” kata Retnaningsih.
Cerita, pengetahuan baru, dan bahan-bahan seminar yang dia dapat itu
dikirimkan ke kakaknya di Bandung. Dia merasa senang kakaknya akhirnya
mengikuti terapi di rumah balur Dr Greta.
”Pada hari kelima terapi, kondisi kakak saya sudah agak membaik.
Perutnya mengecil. Dia sudah bisa jalan agak lama dan menikmati makanan
kesukaannya, soto. Sikapnya lebih optimistik dan rasa humornya sudah
mulai muncul,’’ aku Retnaningsih.
”Kemarin dia cerita ikut bersih-bersih kamarnya untuk menghilangkan
kejenuhan, tapi sambat masih gampang lelah,” kata Retnaningsih,
Dosen Unika yang saat ini mengikuti program doktoral di Fakultas
Kedokteran Undip itu menilai, kemajuan yang didapat kakaknya tergolong
luar biasa dibanding kondisi awal Agustus lalu. ”Namun jalan yang harus
ditempuh masih panjang. Harus sabar dan tetap memelihara harapan,”
katanya.
Terapi untuk penyembuhan kanker yang dilakukan di rumah balur itu
mengombinasikan tiga cara, yakni balur, asupan asap divine kretek, dan
asupan asam amino. Fungsinya untuk meluruhkan dan mengeluarkan radikal
bebas, yang menjadi sumber penyakit, dari dalam tubuh penderita,
”Jika penyebabnya sudah bisa diatasi, kita percaya sistem tubuh
pemberian Tuhan yang sangat kompleks ini akan melakukan recovery dengan
sendirinya,” kata Prof Sutiman.
Menurut Ketua Lembaga Peluruhan Radikal Bebas Malang dr Saraswati,
radikal bebas adalah senyawa kimia aktif dalam fase gas dan bermuatan
listrik. Jika jumlahnya terkendali, ia bermanfaat untuk menjalankan
proses kehidupan.
Sebaliknya, jika dalam keadaan berlebihan, radikal bebas dapat
mengganggu dan menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, diabetes,
autis, rematik, alergi, dan sebagainya.
Kelebihan radikal bebas itu bisa terjadi, lanjut dr Saraswati, karena
proses penuaan, infeksi penyakit, makanan yang kurang seimbang (banyak
karbohidrat dan lemak), menghirup udara yang tercemar, mengonsumsi
makanan yang terkontaminasi radiasi, serta kemoterapi.
Paling Berbahaya
Secara sederhana, Saraswati menjelaskan, jika kelebihan radikal bebas
itu menghantam DNA, maka yang bersangkutan akan terkena autis. Jika yang
diserang adalah protein pengendali jaringan pertumbuhan (P53), maka
pengendalian jaringan tak berfungsi, terjadilah kanker.
Dan, ketika yang terkena radikal bebas adalah virus, maka virus itu menjadi lebih ganas karena mengalami mutasi genetik.
Di antara radikal bebas itu, Mercuri (Hg) tergolong yang paling
berbahaya. Hg dapat dengan mudah memproduksi elektron ke dalam bentuk
yang sangat reaktif. Kelebihan Hg radikal bebas akan menyebabkan kanker,
autis, shizoprenia, dan berbagai penyakit kelainan genetik.
Menurut Yoshiaki Omura, peneliti dari Jepang, semua sel kanker mengandung Hg di dalamnya.
Dengan latar belakang seperti itu, maka untuk terapi kanker dan
penyakit lainnya adalah menetralkan radikal bebas di dalam tubuh
manusia, atau mengeluarkannya dengan detoksifikasi.
”Pada prinsipnya, terapi balur, memasukkan asap divine kretek serta asam amino adalah juga detoksifikasi,” kata dr Saraswati.
Asam amino berfungsi melarutkan zat radikal bebas dan membuatnya
floating. Sedangkan terapi balur membuat radikal bebas yang floating itu
keluar dari tubuh manusia.
Dalam praktik, pembaluran dilakukan di atas lempeng tembaga, karena
pada prinsipnya radikal bebas mengandung muatan listrik. Maka, dengan
tidur di lempeng tembaga (Cu) yang dibumikan (grounding), proses
pengeluaran radikal bebas itu lebih mudah.
”Zat-zat radikal bebas yang keluar dari tubuh itu akan tampak bercak-bercaknya di lempeng tembaga,” kata Saraswati.
Sejak metoda ini dikembangkan awal tahun 2000-an hingga saat ini,
ribuan orang sudah mencobanya untuk berbagai kondisi sakit. Mereka bukan
pasien, melainkan relawan, karena mereka merupakan bagian dari
penembangan penelitian .
Saat ini Griya Balur tidak hanya di Jakarta, melainkan juga di
Malang, Jogja dan juga Semarang yang baru dibuka Juli 2011 lalu. Tidak
lama lagi, di Kudus juga akan dibuka. (Anto Prabowo -43)
Mungkinkah Penemunya Mendapatkan Nobel?
”PENEMUAN larutan divine merupakan mahakarya dalam ilmu pengetahuan yang
bisa menjadi tonggak peningkatan kesehatan berdasarkan kearifan lokal,” kata
Guru Besar Bagian Patologi Anatomi FK Undip, Prof Dr Sarjadi SpPA (K) dalam
keterangan pers yang dikirim ke berbagai media, Juni lalu.
Larutan divine yang ditemukan oleh Dr Greta Zahar itu dikembangkan bersama
Prof Sutiman dengan perspektif nanobiologi. Jika dioleskan ke rokok lalu
rokoknya dibakar, asapnya bisa mengatasi penyakit kanker, autis, serta
meningkatkan secara optimal kondisi sehat manusia.
Tidak hanya untuk manusia, partikel asap divine kretek ini, dalam penelitian
yang sudah dilakukan dan masih terus dikembangkan, juga mampu meningkatkan
hasil dan kualitas tanaman-tanaman kedelai, anggrek, serta padi.
Tanaman-tanaman itu juga tahan terhadap hama penyakit tanaman.
Menurut Sarjadi, Indonesia kaya berbagai macam tanaman yang berpotensi
tinggi masuk ke lingkup pengobatan modern, di antaranya daun tembakau. Namun,
diakuinya, riset komprehensif terhadap manfaat daun tembakau terlihat stagnan,
akibat citra negatif terhadap daun tembakau sebagai penyebab sakit dan
kematian.
”Citra itu terbentuk karena gencarnya pemberitaan tentang bahaya merokok.
Sebaliknya tidak ada penelitian atau tulisan ilmiah yang memberitakan bahwa
daun tembakau bermanfaat untuk kesehatan, sampai akhirnya muncul temuan divine
kretek oleh Dr Greta ini,” kata Sarjadi.
Mungkinkah Dr Greta yang menemukan larutan divine dan metoda
penyembuhan penyakit dengan perspektif radikal bebas sebagai sumber utamanya,
bisa memperoleh Nobel di bidang sains?
Pertanyaan itu sempat muncul dalam bincang-bincang Suara Merdeka dengan Prof
Sutiman dan dr Saraswati beberapa waktu lalu. Ahli biologi molekuler itu dengan
tenang mengatakan, hal itu bukan mustahil, karena temuan yang dihasilkan Greta
tergolong luar biasa.
”Tapi kita tahu tidak mudah mendapatkannya. Belum ada orang Asia yang
mendapatkan Nobel di bidang sains, baru di bidang perdamaian dan sastra. Jalan
yang harus ditempuh untuk Nobel panjang sekali. Antara lain, temuan-temuan ini
bisa masuk dalam publikasi internasional. Tidak mudah menembus sindikasi yang
dikuasai orang-orang Amerika dan Eropa,” katanya.
Nobel penting, kata Prof Sutiman. Tetapi yang lebih penting adalah
mengungkapkan latar belakang sains di balik berbagai obat-obatan dan pengobatan
tradisional yang turun temurun dilakukan masyarakat, misalnya jamu.
”Kami memulai dengan riset di kretek, yang merupakan salah satu temuan dan
aset penting dari bangsa kita. Senang sekali jika kemudian juga bisa mengungkap
lainnya.î
Terapi dengan asap (rokok) kretek ini memang kontroversial. Pastilah banyak
”musuh”-nya, karena selama ini rokok dicitrakan sebagai sumber penyakit. Tetapi
semuanya bisa dijelaskan secara saintis.
Pendekatan sains medis modern memang cenderung reduksionistis. Banyak
simplifikasi dan asumsi yang menyertainya. Termasuk ketika melihat rokok, yang
dianggap sangat berbahaya karena punya kandungan nikotin dan tar yang bersifat
karsinogen (pemicu kanker).
Dengan cara pandang ini, kretek dinilai lebih berbahaya dibanding rokok
filter, lalu kretek filter lebih berbahaya dibanding rokok putih.
Faktanya, menurut Sutiman, ada 11.000 zat di dalam
rokok yang saling terikat dan saling menetralisir. Memang, kalau nikotin dan
tar itu berdiri sendiri, mereka bersifat karsinogen, sama seperti asap
kendaraan bermotor atau asap bakaran sate. Tetapi jika terikat dengan lainnya,
mereka menjadi netral.
Alumnus Universitas Nagoya Jepang itu
menganalogikan, setiap inci persegi kulit manusia mengadung 32 juta bakteri.
Tentu mengerikan jika membayangkan seluruh bakteri ini bisa menjadi sumber
penyakit. Faktanya, sebagian besar jasad-jasad renik itu justru penting untuk
daya tahan hidup kita.
Fisika Kuantum
Perkembangan sains yang radikal telah menghadirkan fisika kuantum. Jika
dengan fisika Newton, kita hanya mengenal komponen atom-atom yang besar, yang
tunduk pada hukum gravitasi, maka dengan fisika kuantum kita dituntun untuk
melihat unsur-unsur supermikro, yaitu nano.
Dalam dua dimensi, nanometer seukuran dengan sepersemilyar meter atau
sepuluh pangkat minus sembilan meter. Mikroskop elektron termodern hanya bisa
melihat ukuran 100 nanometer. ”Ukuran nano hanya bisa diimajinasikan. Misalnya
DNA,” katanya.
Dengan pendekatan fisika kuantum ini, lanjut Sutiman, kita bisa melihat
bahwa asap rokok adalah kumpulan partikel-partikel, ada yang besar dan punya
potensi karsinogen jika tak terikat komponen lain, ada juga yang sangat renik
yang ternyata sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Dengan cara pandang fisika kuantum itu sangatlah mungkin dihasilkan divine
kretek yang bermanfaat bagi kehidupan. Pada prinsipnya divine kretek adalah
konversi dari kretek biasa menjadi asap divine yang mengandung struktur nano
yang kompleks yang dapat memasok elektron dalam ukuran mililevel volt.
”Dalam ukuran nano, yang terjadi adalah medan gaya listrik. Asap divine bisa
berfungsi suplai energi, sekaligus menangkap radikal bebas Hg yang menjadi
sumber penyakit,” kata Sutiman. Sutiman, yang bukan perokok, saat ini pun turut
mengisap divine rokok, sama seperti istrinya yang menjadikan divine rokok
bagian dari terapinya.
”Asap divine rokok mensuplai energi lebih efisien dibanding makanan,”
tuturnya
Balur Divine sebagai Paradigma Baru Pengobatan
Tidak mudah memahami penjelasan bu Gretha. Fisika modern, kimia nuklir,
ditambah dengan nanoteknologi, ketika disatukan dalam uraian, menjadi
menu yang lumayan berat untuk dicerna. Namun ternyata dalam praktek
semuanya sangat sederhana. Obat segala penyakit itu ternyata ada di
dapur kita sendiri: ada telur, kopi, garam, bawang, air kelapa, fermipan
… Hanya satu obat yang tidak biasa: rokok! Rokok terapi ini diramu
secara khusus, asapnya ditiupkan ke lubang telinga, hidung, dan mulut
pasien melalui sebuah pipa. Pasien dibaringkan di atas papan tembaga,
dibalur dengan 7 macam ramuan, sementara terapi asap dilakukan di
sela-sela proses tersebut. Sungguh aneh melihat sebuah penemuan canggih
dipraktekkan dengan begitu mudah dan sederhana, sesederhana pengobatan
ala kampung jaman baheula.
"Alam sudah menyediakan semuanya",
kata Profesor Dr. Sutiman Bambang Sumitro, seorang mikrobiolog dari
Universitas Brawijaya Malang yang menjadi mitra kerja bu Gretha. "Orang
cenderung mempercayai peralatan canggih, padahal peralatan itu bisa jadi
digunakan untuk menutupi konsep yang tidak canggih. Sedangkan Alam
selama ini bekerja berdasarkan konsep yang canggih. Telur, garam,
bawang, kopi, tembakau dan sebagainya itu semua merupakan peluruh
radikal bebas yang luar biasa", tambahnya.
Mengapa telur mentah? "Karena telur mentah merupakan protein hidup.
Telur mentah itu internally driven. Putihnya menangkap radikal bebas
dalam tubuh kita, termasuk merkuri yang juga internally driven.
Sedangkan merah telur mengandung bahan stem cell", kata bu Gretha.
"Tidak perlu takut pada bakteri salmonela atau virus yang mungkin ada
pada telur mentah", kata bu Gretha seolah membaca pikiran saya. "Karena
dalam kopi ada karbon yang berfungsi seperti norit yang melumpuhkan
racun."
Tidak perlu takut pada bakteri dan virus? Sungguh menyenangkan
membayangkan dunia yang sedang disiapkan oleh bu Gretha dan kawan-kawan
ini ! "Bakteri dan virus, semua itu hanyalah protein hidup yang
mengalami mutagenik. Mereka menamainya bakteri, jika ukurannya 10
pangkat minus 5. Tapi ketika ukurannya nano, mereka menamainya virus",
kata bu Gretha sambil mempermainkan rokoknya. "Yang lebih penting untuk
diselidiki adalah penyebab mutagenik protein tersebut, yaitu radikal
bebas, terutama merkuri. Merkuri mempunyai 13 macam panjang gelombang
yang bisa digunakan untuk mengacaukan dan menyesatkan codon dalam
pembentukan protein (codon adalah kode genetik yang menentukan sintesa
protein, Red.) Merkuri dalam tubuh akan menarik lebih banyak merkuri.
Hebatnya,
merkuri punya energi dinamika yang cukup besar untuk membantunya
melakukan transisi elektron, sebuah cara baginya untuk ‘menyamar’
menjadi partikel lain", katanya sambil meluruskan kakinya di lantai.
Sekarang menjadi jelas mengapa selama ini berbagai penelitian belum bisa
‘menangkap basah’ merkuri dan perilakunya di tubuh kita. "Merkuri hanya
perlu tambahan 1 elektron untuk menjadi logam berat seperti thalium,
atau 2 ekstra elektron untuk menjadi timbal. Padahal elektron-elektron
itu tersedia dalam jumlah besar di Alam sebagai akibat dari melimpahnya
jumlah radikal bebas ", tambahnya lagi.
"Jadi penyembuhan segala
macam penyakit pada dasarnya hanyalah memperbaiki kemampuan tubuh dalam
mengendalikan polutan. Detoksifikasi adalah yang paling relevan. Jika
kita tahu caranya, tak ada penyakit yang perlu ditakuti, termasuk flu
burung, flu babi dan sebagainya", kata bu Gretha. Ia lalu memamerkan
foto-foto klinis dan eksperimennya yang sangat menakjubkan selama lebih
dari sepuluh tahun terakhir. Kanker dan autisme merupakan persoalan
sederhana di matanya, apalagi penyakit stroke, jantung dan sebagainya.
Bu
Gretha dan klinik-kliniknya telah membantu ratusan orang yang sudah
tidak bisa ditangani oleh rumah sakit. Namun gaya hidupnya sangat
bersahaja. Tempat duduk favoritnya adalah lantai, kosmetiknya hanyalah
ramuan yang terbuat dari putih telur dan air kelapa. Tanda-tanda
kemewahan ‘hanya’ terlihat pada matanya yang selalu polos namun energik,
tubuh yang elastis, berotot, bugar, serta kulit wajah yang bersih.
Tidurnya sedikit, namun ia masih mampu push-up 25 kali dan berenang 90
menit tanpa jeda di usianya yang menjelang 70. (Kami sering menggodanya
dengan sebutan ‘nenek-nenek aneh’, karena bukannya membekali diri dengan
minyak angin dan syal penghangat seperti nenek pada umumnya, ia malah
membawa rokok dan berbagai ramuan kemana-mana untuk mengurus siapapun
yang dijumpainya di jalan dan sedang bermasalah ! J)
Restless
and fearless, itulah yang saya lihat pada bu Gretha. Dalam pencariannya
yang tak kenal menyerah, ia sempat mengalami berbagai hinaan dan
pengusiran oleh ilmuwan-ilmuwan lain. Namun dengan gigih ia terus
berjuang, salah satunya dengan mencoba membuktikan hipotesanya lewat
pengabdian di sebuah rumah sakit swasta dan beberapa panti asuhan.
Dukungan dari kalangan universitas dan dari kalangan medis akhirnya
mengalir. Tapi ia belum puas juga. "Alam sedang sedih karena banyak
dimanipulasi oleh manusia", katanya suatu hari, dengan nada sedih yang
tak berhasil disembunyikan. "Kita mengambil terlalu banyak dari Alam,
ini menyulitkan Alam dalam melakukan recycling terhadap beratus-ratus
ton radikal bebas yang berkeliaran di sekitar kita.
Sementara
itu hutan dan lautan yang menjadi mesin pendaur-ulang utama itu
mengalami kerusakan yang amat parah," katanya lagi. Pak Sutiman lalu
menambahkan: "Alam sekarang mengalami kesulitan dalam melakukan siklus
berbagai material. Manusia sebagai bagian dari Alam pun mengalaminya."
Lalu, setelah menyalakan rokok yang entah ke sekian, pak Sutiman -yang
sebelumnya sama sekali bukan perokok itu- melanjutkan:"Kerusakan Alam
kini menempatkan manusia pada posisi degeneratif, artinya manusia
menghadapi ancaman kegagalan dalam menjalankan kemampuan normal. Itu
sebabnya penyakit manusia bergeser ke arah difficult diseases."
Tapi
bu Gretha tidak pernah membiarkan dirinya sedih berlama-lama.
Intuisinya yang liar dan tajam membuatnya segera sibuk memikirkan
gagasan-gagasan baru. Alur pikirannya melompat-lompat dengan lincah, tak
banyak orang yang memiliki kemampuan untuk mengimbanginya. Ketika pak
Sutiman pada suatu kesempatan resmi menguraikan pemikiran bu Gretha
dalam bahasa yang lebih runut, bu Gretha tercengang-cengang sendiri:
"Benarkah itu hasil pemikiranku? Aku tidak mengira akan seindah itu…",
katanya dengan ekspresi yang lucu.
Keindahan itu juga terlihat
dalam proses pengobatan ala bu Gretha. Sebelumnya, dalam sebuah
eksperimen, bu Gretha mencoba melepaskan radikal bebas dari sebuah
protein buatan. Radikal bebas itu baru terlepas sesudah dihantam dengan
beban sebesar … 8 ton ! Namun ketika protein yang mengandung radikal
bebas itu ditepuknya dengan ‘mengaktifkan rasa kasih-sayang’, radikal
bebas itupun terlepas. Artinya, beban 8 ton itu kurang lebih setara
dengan tepukan penuh kasih-sayang ! Itu sebabnya pelayanan penuh
kasih-sayang menjadi bagian yang paling penting dalam terapi yang
dikembangkannya.
Itu sebabnya pula, di papan tembaga, pasien
anak-anak dibaringkan di atas tubuh ayah atau ibunya, agar terjadi
ikatan batin yang lebih dalam di antara keduanya. Ikatan kasih-sayang
ini sangat berguna untuk mendorong kesembuhan. Dalam klinik-klinik
asuhan bu Gretha dan kawan-kawan selalu ditekankan pentingnya
partisipasi keluarga dalam proses penyembuhan. Kesembuhan seorang pasien
dipengaruhi oleh kesehatan anggota keluarganya. "Bahkan menyehatkan
diri sendiri itu sama dengan menyehatkan lingkungan", demikian kata pak
Sutiman.
Keindahan yang lain juga diperlihatkan di akhir terapi.
Berbagai ramuan yang sudah dibalurkan ke tubuh pasien itu ditampung,
sebagian dibiarkan tersisa di papan tembaga, sebagian diteteskan pada
cawan petri. Hasilnya sungguh menakjubkan! Hanya beberapa menit dijemur
di bawah matahari, kita akan segera melihat kristal yang bisa
mengisahkan ’siapa kita’. Jika Anda sehat, pada papan tembaga maupun
cawan petri itu akan terlihat lukisan kristal yang penuh, simetris,
fraktal, dan memiliki pola yang sangat indah. "Tubuh manusia itu
merupakan pabrik nano material yang paling hebat. Ketika cairan nano
dari tubuh kita memperlihatkan keteraturan dan keindahan, itu
menunjukkan bahwa tubuh kita memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan
keteraturan dan harmoni", demikian pak Sutiman menjelaskan sambil
mengepulkan asap rokoknya.
Dua tahun terakhir ini, rokok
merupakan bagian yang sangat penting dalam klinik binaan bu Gretha dan
kawan-kawan -yang sebelumnya tidak satupun yang perokok. Rokok yang
dinamai Divine Klobot itu mengandung asam amino, diproses sedemikian
rupa sehingga bebas dari radikal bebas, dan menghasilkan partikel yang
berukuran jauh lebih kecil. "Dengan terapi asap, radikal bebas yang
keluar dari tubuh akan berukuran kecil, sehingga pasien tidak perlu
mengalami siksaan seperti luka-luka yang besar dan basah atau aroma
tubuh yang sangat mengganggu", kata bu Gretha. Proses penyembuhan
menjadi jauh lebih cepat, bahkan selama proses pengobatan pasien bisa
tetap menjalani kehidupan normal tanpa diet khusus, asalkan ia bersedia
secara teratur ….. merokok!
Sungguh sebuah paradoks yang
mengesankan. Limbah ramuan balur bisa menjadi kristal yang bercerita,
dan rokok yang sekarang sedang dihujat telah dimuliakan menjadi obat!
"Tidak ada yang baru pada tembakau dan nikotin. Ratusan tahun yang lalu,
bangsa Indian telah menggunakannya sebagai obat; mereka bahkan menamai
tembakau sebagai tanaman dewa. Nikotin juga telah lama diteliti dan
diakui mengandung banyak manfaat, bahkan ia dijuluki ‘gold nicotine’.
Unsur kimianya yang berjumlah 11000 macam itu membuatnya sangat
istimewa. Jika dilihat secara parsial, unsur-unsur kimia itu
memperlihatkan ‘kejahatan’nya. Tapi jika partikel-partikel tersebut
dilihat secara utuh, rokok memperlihatkan adanya potensi untuk
menyelenggarakan keteraturan dan harmoni.
Rokok tidak
membahayakan generasi terdahulu, juga tidak generasi sekarang. Yang
berbahaya itu radikal bebasnya, dan radikal bebas ada dimana-mana",
jelas pak Sutiman panjang lebar. Bu Gretha lalu menimpali: "Dengan
menggunakan cetakan nano pada filter, densitas elektron meningkat,
sehingga kandungan merkuri pada tembakau akan siap melepaskan elektron.
Dan ketika merkuri kehilangan 1 elektron, ia bukan lagi merkuri. Ia
merupakan partikel emas atau aurum, tepatnya artificial aurum." Saya
jadi ingat sebuah artikel tentang partikel aurum. Dalam ukuran nano, ia
sudah lama dikenal sebagai nanomaterial yang efektif membunuh sel kanker
tanpa merusak sel lainnya.
Bu Gretha lalu menunjukkan selembar
kertas yang ia katakan sebagai ‘penemuan yang sangat mengagumkan’, yaitu
tabel periodik kimia, tabel ciptaan Mendeleyev yang pernah kita
pelajari di SMA. Ia menjelaskan, bahwa merkuri dengan nomor atom 80 bisa
dengan mudah ‘menyamar’ menjadi thalium dan timbal hanya dengan
tambahan 1-2 elektron. Merkuri juga bisa berubah menjadi artificial
aurum atau emas -yang bernomor atom 79- hanya dengan mendonasikan
elektronnya … Pernyataan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
pembuktian. Bersama teman-teman, saya menguji pengaruh Divine Klobot
terhadap aura.
Dengan menggunakan aurameter milik bu Gretha,
saya dan teman-teman menyaksikan, bahwa terapi asap lambat-laun akan
membentuk aura berwarna emas di tubuh kita. "Sungguh terobosan yang
hebat", kata Kang Aas Rukasa, seorang guru senam pernafasan dan
meditasi. "Aura emas hanya mungkin diperoleh melalui latihan pernafasan
yang intensif yang disertai pengerasan tubuh. Aura emas mencerminkan
kematangan di chakra jantung, chakra yang berhubungan dengan kasih
sayang, kelenturan, keterbukaan, dan respon seni", kata Kang Aas. "Aura
emas merupakan jembatan tercepat antara tubuh dan pikiran; artinya
seseorang dengan aura emas akan memiliki kecerdasan tubuh dalam
menerjemahkan dimensi pikiran. Aura emas bukan hanya mencerminkan
kesehatan yang prima dan kelenturan tubuh dalam menghadapi gangguan,
aura emas ini juga berbicara tentang potensi untuk menyembuhkan orang
lain", demikian ia menambahkan.
Saya jadi teringat kisah-kisah
klasik tentang para alkemis yang selalu terobsesi untuk mengubah apapun
menjadi emas. Tidak disangka bahwa rahasia alchemy itu tak jauh-jauh
dari kita, dan tampaknya tidak terlalu sulit bagi kita untuk
mempelajarinya. Siapa tahu kita bisa menjadi the alchemy berikutnya?
Dasar-dasar
bagi tumbuhnya future science itu telah disiapkan oleh bu Gretha dan
kawan-kawan. Ini adalah sains multidisiplin yang tak hanya yang
holistik, tapi juga unik, karena membawa dan mewujudkan mimpi terdalam
umat manusia sejak masa klasik. Saya dan teman-teman tidak
henti-hentinya kagum melihat seorang ilmuwan yang sekaligus ‘tabib’,
seorang yang sesaat berbicara tentang ilmu-ilmu canggih dalam bahasa
campuran Indonesia dan Inggris, lalu ia membalur dan meniupi pasien
dengan bertelanjang kaki, tanpa sarung tangan dan penutup hidung. Di
waktu pagi, senja dan tengah malam, ‘tabib’ ini menyempatkan dirinya
membalur diri dengan kopi, ramuan kelapa dan putih telur, atau garam.
Di
waktu senggangnya ia hanya memerlukan lantai untuk sekedar membaringkan
tubuhnya, sambil meniupkan asap Divine Klobot ke dalam telinganya.
"Lantai baik untuk kesehatan, karena Bumi menetralisir kelebihan arus
listrik yang menyebabkan adanya ritme tidak harmonis di tubuh kita.
Garam bagus untuk menangkap radikal bebas yang ada di tubuh kita.
Pengobatan terbaik adalah menggunakan tangan telanjang, bukan tangan
bersarung, apalagi mesin, karena… tahukah engkau, bahwa tubuh manusia
adalah cetakan nano terhebat di dunia?", begitu katanya sambil
tersenyum, seolah membenarkan ritual para tabib tradisional kita yang
sudah lama menggunakan garam, telur, tangan telanjang, juga lantai dalam
praktek pengobatan mereka. Sungguh sangat sesuai dengan namanya: Gretha
artinya mutiara, Zahar itu brightness, revealed, grounded.
"Ibu kok seperti penyihir, ya…"
"Atau seperti Merlin…"
"Atau Nostradamus, Leonardo da Vinci…"
Begitu komentar teman-teman setiap berjumpa dengan ibu Gretha Zahar yang tak habis-habisnya mengherankan kami.
Sumber :
http://saktiarjuna43.blogspot.co.id/2014/03/divine-kretek-dr-greta-zahar.html
www.balur.com